Bila catatan ini berbau perempuan, jangan Anda anggap ia ada dalam rangka hari Kartini. Bukan juga dalam rangka mewakili golongan yang menyuarakan tentang masalah bias jender. Lebih keliru lagi kalau catatan ini dihubung-hubungkand engan undang-undang cabul yang lahir baru-bari ini. Bukan. Bukan demi semua itu.

CATATAN kecil ini ada sebagai ‘gong’ untuk menandai sebuah peristiwa musik yang terjadi pada 13 November 2008 dari seorang perempuan. Ia seorang Prancis. Ia seorang gitaris. Masih muda. Cantik. Maud Laforest namanya.

Sama-sama kita ungsikan dulu nama perempuan cantik satu ini yang jagoan gitar. Karena tanpa perlu dipuji-puji dalam catatan ini, ia sudah jauh meninggalkan tinjauan yang nanti akan muncul di bawah. Maka, lebih baik larut dalam konteks yang lebih besar: perempuan dan musik. Mari.

Mari kita amini bersama kalau perspektif mengenai kehidupan yang bernuansa patriarki lebih terasa di atas dunia ini. Perempuan selalu berada dalam posisi inferior yang serba salah dan memiliki daya tawar yang lebih rendah ketimbang kaum adam. Ke-perempuan- an seseorang sering menggring persepsi masyarakat untuk bagaimana memperlakukannya.

Ketika perempuan tidak bisa masak, dia dituduh bukan perempuan sejati. Ketika ia jarang pakai rok (walau anggapan ini sudah tidak begitu berlaku sekarang ini), tanda tanya akan sisi feminisnya pasti mencuat. Namun sebaliknya, ketika seorang perempuan memakai rok, ia akan disoraki, “Feminin banget sih lo!”. Lah, kadarnya cukup dilihat sebatas rok-kah?

Lucu juga mendengar seperti ini, “Cewek apaan tuh? Masak nyokapnya meningggal gak nangis?. Atau, “Ih…perempuan kok merokok?”. Memang kalau lelaki merokok tidak salah?

Itulah realitas yang terjadi. Dunia ini penuh bentukan lelaki. Perempuan dinobatkan sebagai penjalan nasib, bukan penentu nasib! Perempuan seolah (harus) bergerak dalam tataran yang tersusun dalam perspektif patriarki yang amat kental, sekaligus menafikan perempuan untuk bertindak bebas sesuai pilihan yang mereka yakini.

Dalam musik, hal ini pun berlaku. Kita selalu lihat bagaimana tidak adilnya masyarakat dalam menilai perempuan yang bermusik. Penyanyi yang tidak berbakat sekali pun, kalau dia bisa menampilkan sensualitas, berbondong-bondong masyarakat memujanya. Kasus lain begini: seorang musisi perempuan yang selesai resital akan ditanggapi begini, “Buat cewek untuk gitar tunggal, itu sangat bagus” (ungkapan Benny M. Tanto dalam resital gitaris perempuan Kroasia, Ana Vidovic – Sinar Harapan, 30 November 2006).

Lalu, perlukah meletakkan penilaian berdasarkan kelamin dalam bermusik? Sedang musik sendiri tidak berkelamin – tidak ber-penis, juga tidak ber-vagina. Bolehkan melihat para perempuan yang bermusik sebagai seorang seniman tanpa embel-embel lainnya?

Dalam perspektif para penggiat feminisme, ada dua hal yang disebrangkan: kodrati dan jender. Kodrati adalah perangkat/sistem ke-perempuan- an seseorang yang ada sebagai bawaan sejak lahir, seperti misalnya, rahim, kumis, payudara, jakun, dan lainnya. Sedang jender adalah kondisi di mana persepsi mengenai perempuan dan lelaki dibangun berdasarkan konstruksi sosial masyarakatnya, seperti halnya lelaki harus cari nafkah, perempuan tidak boleh pulang malam, lelaki tidak boleh nangis, perempuan harus bisa masak.

Dari sana , akhirnya lahir istilah lain: bias jender. Istilah ini mengacu pada satu kebijakan/program/ kegiatan atau kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan jender (menurut banten.go.id) . Artinya, kata bias yang ditambahkan di depannya, menunjukkan bahwa ada satu pergeseran makna, di mana persepsi mengenai jender malah memunculkan permasalahan baru.

Dalam dunia musik, sejarah mencatat bahwa bias jender pun terjadi sejak lama. Banyak dari komponis perempuan yang berjaya pada masanya, namun setelah meninggal karya-karya mereka dilupakan. Atau kasus lain di mana perempuan bermusik harus mengalami ‘jalan sunyi’ terlebih dahulu sebelum sampai pada kejayaannya.

Dua tokoh perempuan bermusik yang sangat menonjol adalah Clara Schumann (1819-1896) dan Fanny Mendelssohn (1805-1847). Clara adalah isteri dari komponis dunia Robert Schumann (1810-1856). Sedang Clara adalah kakak dari Felix Mendelssohn (1809-1847). Bila keduanya terkenal, orang selalu mengasosiasikannya dengan nama keluarganya. Jarang sekali orang yang mau memahami mereka sebagai pribadi yang lepas dari nama besar keluarganya.

Clara pada suatu ketika pernah berkata begini, “I once believed that I possessed creative talent, but I have given up this idea; a woman must not desire to compose — there has never yet been one able to do it. Should I expect to be the one?”. Sedang Fanny pernah disurati begini oleh ayahnya yang seorang filsuf, “Perhaps for Felix music will become a profession, while for you it will always remain but an ornament; never can and should it become the foundation of your existence”.

Kedua hal di atas menjadi bukti bahwa perempuan bermusik adalah sebuah pilihan sulit bagi perempuan itu sendiri, keluarga, maupun masyarakatnya. Dan kalau pun perempuan berhasil dalam musik, tak jarang pujian yang dialamatkannya tidak tulus, atau setidaknya, porsi kualitas kejujurannya tidak sama seperti mengapresiasi pria bermusik. Selalu ada motif-motif lain, beban-beban lain, tujuan-tujuan lain ketika masyarakat mengapresiasi perempuan. Sudah seharusnyalah kita buang ke-perempuanan- nya, dan hanya melihat dia sebagai manusia yang berkesenian. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

Karena catatan ini adalah sebuah ulasan mengenai resital gitar, maka perlulah sedikit tinjauan mengenai permainan Maud Laforest, walau sudah disangsikan sejak awal, bahwa permainan musik dari murid Manuel Barrueco ini akan jauh meninggalkan tinjauan ini.

Malam itu sangat padat. Bahkan sampai perlu disediakan layar di luar ruangan resital untuk menampung kelebihan penonton. Hal ini mungkin disebabkan karena animo masyarakat terhadap resital gitar klasik yang amat jarang diadakan, begitu kuat. Terlebih, kali ini dibawakan oleh seorang perempuan yang digambarkan di poster publikasinya dengan cantik. Hal ini saja sudah menunjukkan terjadinya bias jender.

Dibuka lewat komposisi dari Giulio Regondi, seorang komposer jaman Romantik dari Italia, Laforest mampu tampil prima dan langsung memukau. Tanpa basa-basi, meluncurlah nomor lain dari G.F. Haendel dengan Sonata in A minor. Perubahan kontras dari karya Romantik ke Barok menunjukkan kemerdekaan Laforest untuk tidak menaruh lagu berdasarkan urutan jaman, seperti yang biasa dilakukan penampil kebanyakan.

Sonata Giocosa dari Joaquin Rodrigo juga amat menarik. Dengan memakai bentuk Sonatayang terdiri dari 3 bagian, Rodrigo dengan piawai meletakkan elemen-elemen Spanyol Romantik yang kental. Gitaris lulusan Peabody Institute, Amerik, ini mempunyai eksekusi teknik dan musikal yang amat baik. Dari segi musikal, jelas ia lebih matang dari gitaris muda perempuan yang pernah singgah di Indonesia beberapa waktu lalu, Ana Vidovic.
Nomor-nomor komposisi dari Barrios Mangore, Mertz, dan Piazzola pun dilahap Laforest dengan amat mulus. Pada komposisi Piazzola, Trois Tangos, kepiawaiannya dalam membawakan irama tango amat mumpuni. Ada sebuah rasa ritmik yang agak berbeda dari tango tradisional. Pembawaan Laforest menunjukkan ada tendensi kuat untuk memberi efek ritmik tango yang bergerak maju, seperti ingin menggeser pulsasi tapi tetap dalam kerangka metrum yang tepat.

Sedikit gaya , tapi banyak aksi. Seperti itulah gambaran resital Laforest. Ia minim interaksi, hanya tekun melayani kebutuhan musikal penonton. Itu mungkin sebabnya, walau ia amat memikat – dengan tekniknya, musikalnya, kemudaannya, dan tentu tidak menyertakan ke-perempuan- annya – penonton tidak menghadiahkan tepuk tangan sambil berdiri, seperti yang lazim diberikan kepada banyak penampil musik terbaik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " "

Posting Komentar

Copyright 2009 Citra Desy Candra Puspitha
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates